Ini cerita tentang seorang teman, yang hampir setiap malam nongkrong bareng saya. Dia usianya lebih tua sekitar 6 tahun lebih tua dari saya. Pernah bersekolah di pesantren, ga tau berapa lama persisnya, ga tau dari tahun berapa sampai tahun berapa, namanya Wahyu.
Saya sengaja menceritakan pengalaman buruknya saja, karena lebih baik pengalaman buruk yang diceritakan, biar bisa jadi bahan introspeksi, daripada menceritakan pengalaman baik yang nanti bisa jadi membuat kita terlena, seperti bangsa Indonesia yang selalu terlena dan terkenang pengalaman luar biasa nenek moyang yang pernah menjadi kerajaan besar dan digdaya di Asia Tenggara, tanpa sadar bahwa kita sekarang hanya pecundang yang sok kuat di mata negara lain.
“Kembali ke laptop”, Kembali ke topik, banyak pengalaman buruk dari Wahyu semasa bersekolah di pesantren, mulai dari kerasnya pendidikan yang diterapkan untuk menghukum kesalahan, contohnya hukuman di gundul atau di tempeleng bila ketauan melanggar aturan yang diberlakukan di pesantren.
Lokasi pesantren yang waktu itu masih jauh dari keramaian membuat semua santri di situ jarang sekali di jenguk oleh keluarga. Menurutnya, hanya santri yang dari keluarga berada saja yang kemungkinan dijenguk dan dijatahi uang, sedangkan yang ekonominya pas pasan, atau yang keluarganya jauh, terpaksa bertahan sekuatnya. Makanan yang seadanya, paling paling cuma ikan kering dan nasi. Kalau mau ke pasar susah, karena lokasinya yang jauh dari keramaian maka harus jalan kaki sejauh sekitar lima kilometer melewati hutan dan jalan tanah yang sepi dan banyak anjing liar.
Mau mandi? Sumur paling dekat jaraknya sekitar 1 kilometer, jadi habis mandi, balik ke pesantren wangi sabunnnya sudah hilang ditelan perjalanan. Saat malam tiba, apa yang harus dilakukan? Televisi disediakan, cuma buat nonton berita, selain itu ga boleh, jadi televisi hanya dinyalakan dan dibuka untuk umum pada saat ada siaran berita. Setelah itu masing masing santri balik dan diam di kamar masing masing. Yang mau belajar, mau menghafal dan lain sebagainya, terserah. Santri santri yang memasak harus bergiliran dan bergotong royong, mirip kaya acara di kuil shaolin yang kita tonton dalam film mandarin. Namun yang paling mengiris hati adalah, adanya orang orang yang akhirnya
berubah orientasi dari kutub selatan yang tarik menarik dengan kutub utara, menjadi kutub selatan yang tarik menarik dengan kutub selatan itu sendiri.
Cerita ini bukan hanya datang dari Wahyu, tapi juga dari Amir, seorang rekan pecinta alam yang juga lulusan pesantren yang sama dengan Wahyu. Mereka mereka yang berubah haluan itu bisa jadi frustasi, karena setiap hari yang ditemui cuma Ustadz, kitab kitab dan buku buku, serta teman teman sekutub lainnya.
Berteman dengan laki laki yang sama tiap hari, yang dilihat dan ditemui setiap hari juga laki laki, maka ada kemungkinan tumbuhlah rasa sayang dan cinta pada sesama kutub, belum lagi gejolak darah muda yang perlu menyalurkan hasrat sexual. Maka tumbuhlah kekuatan tarik menarik dari kutub yang sama itu. Orang orang yang berubah haluan itu menurut Wahyu dan Amir, biasanya sering jalan bareng, melakukan semua aktifitas bersama sama, bahkan sampai tidur pun sama sama di satu ranjang.
Darimana Wahyu dan Amir mengetahui bahwa ada orang orang tersebut? Selain dari gosip yang berkembang, jelaslah mereka melakukan spionase, yang dalam bahasa kerennya ngintip atau nguping, saat malam tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, rokok juga sudah habis, apalagi yang bisa dilakukan selain jadi usil ?
Cerita dari Wahyu, demi menghindarkan diri dari transformasi daya tarik kutub magnet, termasuk mencari kegiatan selingan penghilang stress, ia bergabung dengan 6 orang rekan laki laki, yang mau diajak merokok, dan bolos. Katanya dengan begitu, ia dan teman temannya merasa berhasil menjaga status mereka sebagai pejantan tangguh, meski tindakan mereka sering menghasilkan hukuman seperti yang disebutkan diatas, dan karena kesukaannya pada hal hal yang dikatakan sebagai kenakalan.
Setelah lulus dari pesantren, Wahyu pernah jadi bandar narkoba sekaligus pemakainya, sampai sampai badannya jadi kurus kering, dan karena saking kurusnya badannya, teman temannya memanggilnya Bim Bim, Wahyu juga seorang peminum alkohol.
Sedangkan Amir, sampai sekarang juga masih suka mabuk dan masih belum jadi orang alim. Mungkin, bagi mereka, kenakalan, pemberontakan, dan sikap sikap anti kemapanan dapat menjadi penghilang stress mereka, juga dapat menjaga diri mereka dari godaan sesama jenis.
Ada kalimat yang selalu saya ingat dari Wahyu apabila bercerita tentang pengalamannya semasa pesantern adalah:
”Tak selamanya mengirim anak ke pesantren itu bisa membuat anak jadi alim dan ahli agama, sebaik baiknya orang lain mendidik, jauh lebih baik orang tua sendiri yang mendidik kita”.